OJK

Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Nasional Tetap Terjaga di Tengah Gejolak Global, OJK Optimistis

Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Nasional Tetap Terjaga di Tengah Gejolak Global, OJK Optimistis
Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Nasional Tetap Terjaga di Tengah Gejolak Global, OJK Optimistis

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa stabilitas Sektor Jasa Keuangan (SJK) nasional masih tetap terjaga hingga akhir Maret 2025, meskipun dinamika global tengah diliputi ketidakpastian ekonomi dan gejolak geopolitik yang meningkat. Hal ini disampaikan dalam hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK yang digelar pada 26 Maret 2025.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan bahwa kondisi sektor keuangan Indonesia tetap kuat dan resilien, meski tengah menghadapi tekanan eksternal. Ia menyebut perekonomian global saat ini bergerak secara tidak seragam atau divergent, dengan sejumlah indikator menunjukkan ketidakseimbangan pertumbuhan antara negara maju dan berkembang, Rabu, 16 April 2025.

“Perekonomian global cenderung divergent seiring rilis data perekonomian AS yang di bawah ekspektasi, sementara untuk Eropa dan Tiongkok justru di atas ekspektasi,” ujar Mahendra dalam keterangannya.

Gejolak Ekonomi Global Meningkat, Proyeksi Pertumbuhan Direvisi

Mahendra juga menyoroti bahwa volatilitas pasar keuangan global masih tinggi, disebabkan oleh ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dan meningkatnya risiko geopolitik. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

“Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 direvisi ke bawah oleh OECD, dengan PDB global diproyeksikan menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026 akibat meningkatnya hambatan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan,” jelasnya.

OECD juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,9 persen pada 2025. Namun, Mahendra menegaskan bahwa angka ini masih sejalan dengan performa negara-negara sejenis (peer countries), sehingga tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.

Amerika Serikat Melambat, Tiongkok Dorong Konsumsi

Di Amerika Serikat, Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV 2024 tercatat tumbuh 2,4 persen secara kuartalan (quarter-on-quarter/qoq). Namun, proyeksi pada kuartal I 2025 menunjukkan kemungkinan kontraksi, dengan pengangguran yang meningkat ke angka 4,2 persen.

“The Fed tetap mempertahankan tingkat suku bunganya dan akan memangkas Fed Fund Rate (FFR) hanya 1 hingga 2 kali di tahun 2025,” tambah Mahendra.

Sementara itu, Tiongkok menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pemerintah setempat meluncurkan stimulus untuk mendorong konsumsi domestik, yang mulai terlihat dari naiknya penjualan ritel, kendaraan, serta harga rumah baru—meski masih berada dalam zona kontraksi.

Kondisi Domestik Tetap Terkendali, Inflasi Terjaga

Meski menghadapi tekanan dari luar, kondisi perekonomian domestik Indonesia terpantau solid. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional pada Maret 2025 tercatat sebesar 1,03 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara inflasi inti di Februari berada di angka 2,48 persen yoy.

“Ini menunjukkan permintaan domestik masih cukup baik, namun perlu dicermati beberapa indikator permintaan yang termoderasi,” ujar Mahendra.

Indonesia Masih Menjadi Primadona di Mata Investor Global

Kinerja ekonomi yang stabil turut diperkuat oleh pandangan positif dari lembaga pemeringkat internasional. Moody’s Investors Service mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level Baa2 dengan outlook stabil. Begitu juga dengan Fitch Ratings yang memberikan peringkat BBB dengan outlook stabil.

“Hal tersebut merepresentasikan keyakinan global terhadap fundamental ekonomi Indonesia dan kebijakan yang diambil mampu menjaga ketahanan sektor keuangan di tengah ketidakpastian global,” tegas Mahendra.

Indikator Ekonomi Makro Indonesia Kompetitif

Lebih lanjut, OJK juga memaparkan bahwa indikator kerentanan eksternal Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup baik dibandingkan negara-negara sejenis. Ini terlihat dari beberapa indikator penting seperti:

Defisit fiskal: Indonesia 2,29 persen; Turki 5,21 persen; India 7,8 persen.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB: Indonesia 30,42 persen; Turki 43,9 persen; India 19,3 persen.

Neraca transaksi berjalan terhadap PDB: Indonesia -0,63 persen; Turki -2,2 persen; India -1,1 persen.

“Rating Indonesia dan posisi indikator kerentanan eksternal yang biasa digunakan untuk menilai daya tahan perekonomian dan pasar keuangan relatif baik dibandingkan peer countries,” ujar Mahendra.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index