JAKARTA - Krisis lingkungan yang terus memburuk di berbagai wilayah Indonesia mendorong lahirnya ruang-ruang dialog yang lebih reflektif dan lintas sektor. Salah satunya ditandai dengan penyelenggaraan Seminar Nasional bertajuk “Taubat Ekologis: Refleksi Kebijakan Tata Kelola SDA” yang digelar Dewan Pengurus Nasional Gerbang Tani.
Berlangsung di Aula PKU Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu 17 Desember 2025, forum ini menjadi ajang pertemuan pemuka agama, akademisi, aktivis lingkungan, dan pembuat kebijakan untuk bersama-sama menelaah akar persoalan krisis ekologi sekaligus mencari jalan keluar yang berkelanjutan.
Berbeda dari diskusi lingkungan pada umumnya, seminar ini menempatkan nilai-nilai keagamaan dan etika spiritual sebagai fondasi utama dalam membangun kesadaran ekologis.
Pendekatan tersebut dinilai relevan di tengah situasi kerusakan alam yang tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga mengguncang tatanan sosial, ekonomi, dan moral masyarakat. Kehadiran Menteri Agama Nasaruddin Umar sebagai pembicara kunci menegaskan bahwa isu lingkungan telah menjadi persoalan lintas iman dan lintas kepentingan, yang membutuhkan refleksi mendalam sekaligus tindakan nyata.
Ruang Dialog Lintas Agama dan Sektor
Seminar nasional yang digagas Gerbang Tani menghadirkan beragam tokoh dari latar belakang berbeda. Selain Menteri Agama Nasaruddin Umar, diskusi ini turut diisi Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, aktivis Institute Hijau Indonesia Chalid Muhammad, Guru Besar PTIQ Prof Dr Hj Nur Arfiyah, aktivis Greenpeace Khalisah Khalid, serta perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Antonius Subianto Bunjamin. Keberagaman narasumber tersebut mencerminkan keseriusan penyelenggara dalam membangun dialog yang inklusif dan komprehensif.
Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad menjelaskan bahwa tema taubat ekologis bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil refleksi panjang atas berbagai bencana ekologis yang dampaknya bersifat jangka panjang. Ia mencontohkan pengalaman rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh yang menunjukkan bahwa pemulihan lingkungan dan sosial membutuhkan waktu puluhan tahun.
“Ada salah satu rekan saya yang terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh menyebutkan bahwa dampak bencana di Sumatera membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk pulih. Hulu dan hilirnya sama-sama terhantam. Situasi inilah yang mendorong kami mengangkat tema taubat ekologis,” ujar Idham.
Taubat Ekologis sebagai Kesadaran Kolektif
Dalam pandangan Gerbang Tani, taubat ekologis tidak dimaknai sebatas simbol keagamaan atau retorika moral. Lebih dari itu, konsep ini dipahami sebagai kesadaran kolektif untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam yang selama ini cenderung eksploitatif. Idham menekankan bahwa hampir semua ajaran agama mengajarkan hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.
“Dalam perspektif Islam dan agama-agama lain, relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil ‘alamin, bukan eksploitatif. Krisis ekologi hari ini menuntut kerja sama lintas sektor yakni tokoh agama, akademisi, NGO, hingga pembuat kebijakan. Tugas ini berat dan tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” katanya.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemulihan lingkungan tidak dapat diserahkan pada satu pihak saja, melainkan membutuhkan kolaborasi yang konsisten dan berkelanjutan.
Ekoteologi sebagai Fondasi Etik Kebijakan
Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam paparannya menyoroti pentingnya pendekatan ekoteologi sebagai landasan etik dalam merumuskan kebijakan lingkungan. Menurutnya, bumi dan alam semesta merupakan ciptaan Tuhan yang bersifat sakral, sehingga tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai objek eksploitasi ekonomi.
“Alam bukan sekadar sumber daya melainkan amanah Ilahi yang wajib dijaga keberlanjutannya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan konflik lahan bukanlah biaya pembangunan, tetapi tanda terganggunya relasi manusia dengan amanah Tuhan,” ujarnya.
Seruan taubat ekologis yang disampaikan Menag Nasaruddin sejalan dengan gagasan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat sekaligus inisiator Gerbang Tani, Muhaimin Iskandar, yang sebelumnya juga menekankan pentingnya menjaga lingkungan dari praktik-praktik perusakan. Kesamaan pandangan ini menunjukkan adanya konsensus di tingkat moral dan kebijakan mengenai urgensi perlindungan lingkungan hidup.
Dari Refleksi Moral ke Kerja Nyata
Lebih lanjut, Menag Nasaruddin mengingatkan bahwa keterbatasan akal manusia sering kali membuat dampak kerusakan lingkungan tidak langsung disadari. Ia menyinggung keterhubungan energi semesta yang menegaskan bahwa seluruh ciptaan saling terkait.
“Merusak satu bagian bumi berarti mengguncang keseluruhan ekosistem, termasuk kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” ucapnya. Dalam konteks ini, ia menyampaikan pesan reflektif yang kuat, yakni “Tundalah kiamat dengan merawat bumi.”
Namun demikian, Menag juga menekankan bahwa taubat ekologis tidak boleh berhenti pada tataran wacana. Menurutnya, konsep ini harus diterjemahkan menjadi paket kerja konkret yang dapat diawasi publik.
“Taubat ekologis harus menjadi paket kerja yang bisa diawasi publik, mulai dari audit izin dan konsesi, pemulihan daerah aliran sungai, rehabilitasi hutan, pembenahan tata ruang berbasis risiko bencana, hingga penegakan hukum yang menyasar pelaku dan rantai keuntungan,” ungkap Nasaruddin.
Melalui seminar ini, Gerbang Tani berharap seruan taubat ekologis dapat menjadi titik awal perubahan cara pandang dan cara bertindak dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dengan melibatkan pemuka agama, aktivis lingkungan, akademisi, dan pembuat kebijakan, forum ini diharapkan mampu mendorong lahirnya kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada keselamatan lingkungan serta generasi mendatang.