JAKARTA - Industri baja nirkarat (stainless steel) Indonesia kini mendapat momentum baru setelah Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan Indonesia dalam sengketa dagang melawan Uni Eropa.
Putusan tersebut mempertegas bahwa kebijakan Indonesia, termasuk ekspor nikel dan pemberian fasilitas kawasan berikat, tidak melanggar ketentuan internasional.
Keputusan WTO ini dianggap sebagai peluang strategis bagi penguatan daya saing ekspor baja Indonesia ke pasar global, khususnya kawasan Eropa yang selama ini menjadi pasar utama.
Panel WTO menyatakan sebagian besar tindakan Uni Eropa dalam mengenakan bea masuk imbalan atau countervailing duties (CVD) tidak sesuai dengan ketentuan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement).
Dengan demikian, tudingan Uni Eropa terhadap kebijakan industri baja Indonesia dianggap tidak berdasar. Putusan tersebut membuka jalan bagi perbaikan hubungan perdagangan dan peningkatan akses produk baja nasional ke pasar internasional.
Kemendag Pastikan Akses Pasar Indonesia Tetap Terjaga
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyambut baik hasil keputusan WTO yang memenangkan Indonesia dalam sengketa baja nirkarat ini. Ia menegaskan bahwa kemenangan tersebut bukan sekadar capaian diplomasi dagang, melainkan langkah strategis untuk menjamin keberlanjutan ekspor Indonesia ke pasar global.
“Ini pencapaian penting untuk memastikan akses pasar Indonesia tetap terbuka di Uni Eropa maupun negara lain. Kami berharap Uni Eropa menghormati putusan WTO dan segera mencabut bea masuk imbalan yang tidak sesuai aturan,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Pemerintah optimistis keputusan ini akan mengurangi hambatan dagang yang selama ini menjadi kendala utama dalam peningkatan ekspor baja nirkarat. Selain membuka peluang di Eropa, keputusan tersebut juga memberi sinyal positif bagi negara-negara lain untuk memperkuat kemitraan dagang dengan Indonesia.
Pelaku Usaha Nilai Keputusan WTO Bawa Harapan Baru
Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto, menilai keputusan WTO ini merupakan kabar baik bagi dunia usaha nasional. Menurutnya, pencabutan CVD oleh Uni Eropa akan membuka peluang kompetisi yang lebih adil di pasar global.
“Putusan ini memang membuka pintu peluang, tetapi keberhasilan memanfaatkannya sangat tergantung pada kemampuan industri nasional meningkatkan produktivitas, efisiensi biaya, serta memenuhi standar mutu dan keberlanjutan yang disyaratkan pasar global, khususnya Eropa,” jelas Anne.
Ia juga menyoroti pentingnya transformasi industri dalam negeri agar mampu bersaing dengan produsen baja besar seperti China, India, dan Eropa Timur. Negara-negara tersebut memiliki kapasitas produksi yang jauh lebih besar serta tingkat efisiensi yang tinggi, sehingga Indonesia perlu fokus pada peningkatan kualitas dan daya saing produk.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Industri Manufaktur Apindo, Rahmat Harsono, menambahkan bahwa keputusan WTO ini bukan hanya berdampak pada ekspor, tetapi juga memberikan dorongan bagi peningkatan produksi dalam negeri.
Peningkatan tersebut diharapkan mampu memperbaiki neraca perdagangan nasional dengan mengurangi ketergantungan pada impor baja tertentu.
Proyeksi Ekspor Baja Indonesia Kembali Cerah
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, memperkirakan ekspor stainless steel Indonesia berpotensi naik 15% hingga 20% pada tahun 2026, tergantung pada tindak lanjut Uni Eropa terhadap putusan WTO.
Ia menegaskan, jika bea masuk sebesar 10%–21% dihapuskan, maka harga baja Indonesia akan kembali kompetitif di pasar Eropa. “Dengan dihapusnya bea masuk yang selama ini mencapai 10%-21%, hambatan harga ekspor akan berkurang. Harga baja nirkarat Indonesia di perbatasan Eropa kembali kompetitif,” ujar Rizal.
Optimisme ini didukung oleh tren peningkatan ekspor baja Indonesia dalam lima tahun terakhir yang tumbuh hingga 22%. Permintaan global terhadap baja nirkarat juga masih tinggi, terutama untuk kebutuhan infrastruktur, otomotif, dan manufaktur di kawasan Eropa.
Ke depan, pemerintah diharapkan dapat memperkuat kebijakan industri hilir, memperluas kerja sama dengan mitra dagang, dan mempercepat investasi di sektor logam dasar agar potensi yang terbuka pasca putusan WTO dapat dimaksimalkan secara berkelanjutan.