Saham

Surat Utang Rp13,15 Triliun Jatuh Tempo, Korporasi Siapkan Strategi Likuiditas

Surat Utang Rp13,15 Triliun Jatuh Tempo, Korporasi Siapkan Strategi Likuiditas
Surat Utang Rp13,15 Triliun Jatuh Tempo, Korporasi Siapkan Strategi Likuiditas

JAKARTA - Menjelang akhir tahun 2025, sejumlah korporasi besar di Indonesia dihadapkan pada tantangan pengelolaan likuiditas akibat jatuh temponya berbagai surat utang bernilai besar. 

Berdasarkan data dari Pefindo, total nilai surat utang korporasi yang akan jatuh tempo pada bulan Oktober 2025 mencapai Rp13,15 triliun, mencakup 23 seri obligasi, sukuk, dan medium term notes (MTN).

Periode jatuh tempo kali ini menjadi sorotan pelaku pasar keuangan karena melibatkan nama-nama besar seperti Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Indah Kiat Pulp & Paper (INKP), Astra Sedaya Finance, hingga Indosat (ISAT). 

Dengan kondisi suku bunga yang masih relatif tinggi, emiten perlu menyiapkan langkah antisipatif agar kewajiban pembayaran tidak mengganggu arus kas operasional maupun agenda ekspansi bisnis mereka.

Obligasi BBRI Menjadi yang Terbesar Jatuh Tempo Bulan Ini

Di antara surat utang yang akan jatuh tempo, Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I Tahap II Tahun 2023 Seri B milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menjadi yang terbesar dengan nilai Rp4,15 triliun. Obligasi hijau tersebut akan jatuh tempo pada 17 Oktober 2025.

Instrumen berwawasan lingkungan ini diterbitkan sebagai bagian dari komitmen BRI terhadap pembiayaan hijau (green financing). Namun, jatuh temponya instrumen bernilai besar ini tetap menjadi perhatian, mengingat sektor perbankan juga tengah menjaga likuiditas di tengah penyesuaian kebijakan suku bunga global.

Selain BRI, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) juga memiliki Obligasi Berkelanjutan III Tahap II Tahun 2022 Seri B senilai Rp1,6 triliun yang akan jatuh tempo pada 11 Oktober 2025. 

Sebagai bagian dari grup Sinarmas, INKP dikenal memiliki struktur keuangan yang solid, tetapi beban utang korporasi sektor pulp dan kertas tetap menjadi isu penting, terutama di tengah fluktuasi harga komoditas global.

Astra Sedaya Finance dan Indosat Juga Hadapi Jatuh Tempo Besar

Dari sektor pembiayaan, PT Astra Sedaya Finance — perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan otomotif di bawah Grup Astra — akan menghadapi jatuh tempo Obligasi Berkelanjutan VI Tahap IV Tahun 2024 Seri A senilai Rp1,18 triliun pada 12 Oktober 2025.

Perusahaan pembiayaan biasanya mengandalkan penerbitan obligasi berkelanjutan untuk menjaga arus kas dan mendanai ekspansi kredit. Namun, jatuh tempo dalam jumlah besar menuntut perusahaan untuk memastikan kecukupan dana atau menerbitkan instrumen baru sebagai bentuk refinancing.

Sementara itu, dari sektor telekomunikasi, PT Indosat Tbk. (ISAT) juga memiliki dua seri surat utang yang akan jatuh tempo bersamaan pada 26 Oktober 2025. Instrumen tersebut adalah Obligasi Berkelanjutan IV Tahap I Tahun 2022 Seri A senilai Rp875 miliar, serta Sukuk Ijarah Berkelanjutan IV Tahap I Tahun 2022 Seri A senilai Rp375 miliar.

Indosat sebelumnya melakukan restrukturisasi keuangan pasca merger dengan Hutchison 3 Indonesia. Karena itu, jatuh tempo kali ini menjadi ujian bagi strategi pembiayaan jangka menengah perusahaan, terutama dalam menjaga rasio utang dan arus kas operasional.

MTN dari Dua Perusahaan Daerah dan Pembiayaan Swasta Juga Jatuh Tempo

Selain obligasi dan sukuk, ada pula sejumlah Medium Term Notes (MTN) yang akan jatuh tempo pada Oktober 2025. Di antaranya adalah MTN Tahun 2022 PT Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan senilai Rp343 miliar, serta MTN III Tahap II Tahun 2022 PT JACCS Mitra Pinasthika Mustika Finance senilai Rp150 miliar.

Meskipun nilainya tidak sebesar obligasi dari perusahaan besar, jatuh temponya MTN tersebut tetap berkontribusi pada total kewajiban korporasi di pasar surat utang domestik. 

Perusahaan penerbit MTN biasanya memiliki basis pendanaan yang lebih terbatas dibandingkan emiten besar di pasar obligasi, sehingga strategi pengelolaan likuiditas menjadi lebih krusial.

Total Emisi Obligasi dan Sukuk di BEI Capai Rp155,39 Triliun

Sekretaris Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Kautsar Primadi Nurahmad, menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2025, total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI telah mencapai 135 emisi dari 73 emiten dengan nilai Rp155,39 triliun.

“Total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 637 emisi dengan nilai outstanding sebesar Rp517,39 triliun dan US$117,27 juta, yang diterbitkan oleh 136 emiten,” ujar Kautsar dalam keterangan resmi.

Selain surat utang korporasi, BEI juga mencatat Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak 191 seri dengan nilai nominal Rp6.423,84 triliun dan US$352,10 juta. Sementara itu, terdapat 7 emisi Efek Beragun Aset (EBA) dengan total nilai Rp2,13 triliun.

Tantangan Pembiayaan dan Momentum Refinancing di Kuartal Akhir

Gelombang jatuh tempo surat utang di kuartal IV/2025 menjadi perhatian penting bagi analis dan investor. Dengan total kewajiban mencapai Rp13,15 triliun hanya dalam satu bulan, para emiten diperkirakan akan mengatur strategi refinancing atau penjadwalan ulang utang guna menjaga stabilitas neraca keuangan mereka.

Beberapa perusahaan kemungkinan akan memanfaatkan momentum pemulihan pasar modal domestik untuk menerbitkan kembali surat utang baru. Penerbitan ini diharapkan dapat menggantikan instrumen lama yang jatuh tempo, sekaligus menjaga reputasi kredit dan tingkat kepercayaan investor.

Bagi investor institusi, periode jatuh tempo besar seperti ini juga membuka peluang reposisi portofolio. Instrumen baru dengan tenor menengah bisa menarik minat pasar jika menawarkan kupon kompetitif, terutama di tengah ekspektasi stabilnya suku bunga Bank Indonesia menjelang akhir tahun.

Menjaga Stabilitas Pasar Surat Utang Korporasi

Dengan nilai outstanding surat utang yang terus meningkat, penting bagi otoritas dan pelaku pasar untuk memastikan mekanisme refinancing berjalan lancar. 

Pasar obligasi korporasi Indonesia memang tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun ketergantungan terhadap pembiayaan jangka menengah tetap menjadi risiko utama bila kondisi makroekonomi berubah drastis.

Secara keseluruhan, jatuh temponya Rp13,15 triliun surat utang korporasi pada Oktober 2025 menjadi ujian bagi daya tahan keuangan dunia usaha. 

Di sisi lain, momentum ini juga bisa menjadi sinyal positif bagi pasar modal jika seluruh kewajiban dapat diselesaikan dengan lancar — menegaskan bahwa likuiditas korporasi Indonesia tetap solid di tengah dinamika ekonomi global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index