JAKARTA - Wacana pengaturan biaya administrasi di platform e-commerce mulai menguat seiring meningkatnya keluhan pelaku usaha kecil terkait potongan layanan digital. Pemerintah menilai perlu ada kejelasan aturan agar ekosistem perdagangan daring tetap adil, terutama bagi UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional.
Melalui Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pemerintah kini tengah mengkaji regulasi khusus yang akan mengatur biaya administrasi yang dibebankan oleh platform e-commerce. Langkah ini diambil untuk memastikan kebijakan platform tidak menekan margin pelaku usaha kecil, terutama di tengah persaingan harga yang semakin ketat.
Kajian tersebut juga menjadi respons atas belum adanya aturan baku terkait komisi atau potongan penjualan di platform digital, baik di Kementerian Komunikasi dan Digital maupun di Kementerian Perdagangan. Pemerintah ingin memastikan kebijakan yang akan diambil tetap berpihak pada keberlanjutan UMKM.
Pemerintah Susun Aturan Biaya Admin E-commerce
Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian UMKM, Temmy Satria Permana, menyampaikan bahwa pihaknya mendapat mandat langsung dari Menteri UMKM untuk menyusun peraturan menteri terkait biaya administrasi e-commerce.
“Kami ditugaskan oleh Pak Menteri ya, nyusun permen (Peraturan Menteri). Kan selama ini memang pengaturan komisi kan belum ada ya, potongan itu kan. Baik di Komdigi maupun di Kemendag, belum ada aturannya. Kita lagi sedang mengkaji nih,” ujar Temmy.
Ia mengakui bahwa pemerintah sebenarnya sudah mengetahui gambaran besaran kenaikan biaya administrasi yang direncanakan platform digital. “Angkanya sih kita sudah tahu ya, bakal naik berapa,” imbuhnya. Namun, pemerintah tidak ingin terburu-buru menetapkan aturan tanpa memahami dampaknya secara menyeluruh.
Dampak Biaya Admin terhadap UMKM Jadi Fokus
Temmy menegaskan bahwa kajian utama pemerintah akan berfokus pada dampak langsung kebijakan biaya administrasi terhadap pelaku UMKM. Pemerintah ingin memastikan bahwa kenaikan biaya layanan tidak justru menggerus keuntungan para penjual daring.
“Kita akan kaji apakah ini betul-betul tidak memberatkan UMKM atau tidak. Paling tidak kita akan survei dulu ke teman-teman seller,” ungkapnya.
Survei ini dinilai penting untuk mendapatkan gambaran riil di lapangan, khususnya terkait margin keuntungan UMKM yang relatif tipis. Pemerintah menyadari bahwa sedikit kenaikan biaya admin bisa berdampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha kecil di platform digital.
Libatkan Asosiasi dan Pelaku Usaha Digital
Dalam proses penyusunan kebijakan, Kementerian UMKM juga akan melibatkan berbagai mitra asosiasi, termasuk asosiasi internet marketer. Pemerintah ingin menghimpun masukan langsung dari pelaku usaha yang sehari-hari berhadapan dengan dinamika e-commerce.
“Kita kan punya mitra asosiasi internet marketer ya. Kita coba bicara dengan mereka. Apakah rencana kenaikan tarif ini akan semakin menekan profit dari mereka,” kata Temmy.
Diskusi dengan asosiasi ini akan difokuskan pada potensi penurunan profit penjual, terutama di tengah perang harga antarplatform. Pemerintah ingin memastikan regulasi yang disusun tidak justru melemahkan daya saing UMKM di pasar digital.
Dinamika Komisi Platform dan Dorong Produk Lokal
Catatan CNBC Indonesia menunjukkan bahwa pada 2024 terdapat dua e-commerce besar di Indonesia yang menaikkan komisi, yakni Shopee dan Tokopedia. Tokopedia menyesuaikan biaya layanan per 16 September 2024, termasuk bagi Seller Regular Merchant yang berubah menjadi Power Merchant dengan syarat tertentu.
Perubahan biaya layanan juga berlaku untuk Seller Power Merchant dan Power Merchant Pro, dengan penyesuaian mulai dari 1 persen hingga 10 persen tergantung kategori produk. Sementara itu, Shopee menerapkan biaya admin berbeda bagi Penjual Non-Star, khususnya yang telah menyelesaikan lebih dari 50 pesanan.
Di sisi lain, Kementerian UMKM juga mendorong penguatan produk lokal melalui program substitusi barang impor, termasuk melalui perdagangan e-commerce. Temmy mengungkapkan bahwa pemerintah telah bertemu dengan produsen, pemilik merek, serta asosiasi pedagang dari Pasar Gedebage dan Pasar Senen.
Dari pertemuan tersebut, hampir 500 pedagang menyatakan kesiapan untuk terlibat dalam program substitusi produk lokal. “Sudah masuk data kami kurang lebih ada hampir 500 pedagang yang siap untuk mensubstitusi produk,” ujarnya.
Meski demikian, Temmy mengakui masih ada tantangan dalam implementasi program tersebut, terutama dalam menyelaraskan kepentingan pedagang dan produsen. “Ini kan bisnis ya, harus saling menguntungkan, jangan saling merugikan,” tutupnya.
Sebelumnya, Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyebut pemerintah telah berkonsolidasi dengan 1.300 merek lokal untuk menghadapi gempuran produk impor, terutama barang bekas. Pemerintah menegaskan larangan impor barang bekas atau thrifting dan mendorong pelaku usaha beralih menjual produk buatan dalam negeri.