Nikel

Industri Smelter Membeludak, Impor Nikel Indonesia Meningkat Signifikan

Industri Smelter Membeludak, Impor Nikel Indonesia Meningkat Signifikan
Industri Smelter Membeludak, Impor Nikel Indonesia Meningkat Signifikan

JAKARTA - Industri nikel nasional tengah menghadapi dinamika baru seiring meningkatnya aktivitas smelter di berbagai daerah.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan bahwa impor bijih nikel pada tahun ini mengalami kenaikan signifikan.

APNI mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2025, Indonesia telah mengimpor hampir 15 juta ton bijih nikel. Jumlah ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan sepanjang tahun 2024 yang tercatat sekitar 12 juta ton.

Meidy menegaskan bahwa Filipina menjadi pemasok utama dalam perdagangan ini. "Tahun lalu, kita impor sampai 12 juta ton. Tahun ini, sampai akhir Agustus kemarin, kita sudah impor sampai hampir 15 juta ton bijih nikel dari Filipina," ujar Meidy dalam sebuah forum bisnis di Jakarta.

Menurutnya, tren peningkatan impor kemungkinan masih berlanjut hingga akhir tahun. Bahkan, Oktober disebut sebagai periode produksi terbaik bagi smelter, sehingga kebutuhan bahan baku akan meningkat secara otomatis.

Beberapa kontrak kerja baru sudah mulai dijalankan, terutama untuk teknologi HPAL atau high pressure acid leach.

Penyebab Utama Kenaikan Impor Nikel

Peningkatan impor ini terjadi karena jumlah pasokan bijih nikel di dalam negeri belum sebanding dengan banyaknya smelter yang terus bertambah. Meidy menjelaskan, ketersediaan cadangan tidak cukup memenuhi seluruh kebutuhan industri pengolahan yang semakin meluas.

Selain itu, Indonesia kini memiliki 73 unit smelter nikel yang telah beroperasi secara aktif. Di luar itu, ada 73 smelter lain yang masih dalam tahap konstruksi serta 17 smelter yang masih dalam tahap perencanaan pembangunan.

Dengan total proyeksi mencapai 163 unit smelter, maka kebutuhan pasokan bijih nikel tentu semakin besar. Meidy menegaskan, "Dari sekian banyak 163 ini, jika berproduksi semua, nangis kalau saya bilang. Kenapa? Cadangan [bijih nikel]-nya enggak cukup. Sangat amat cadangannya enggak cukup."

Selain impor dari Filipina, para pengusaha juga tengah menjajaki peluang mendatangkan pasokan bijih nikel dari Kaledonia dan Papua Nugini. Hal ini terutama terkait perundingan harga yang disesuaikan dengan kebutuhan industri domestik.

Data Impor dan Peran Filipina dalam Pasar Nikel

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bijih nikel dan konsentrat dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Januari hingga Juli 2025 mencapai 6,82 juta ton. Nilai perdagangan tersebut setara dengan US$322,57 juta.

Mayoritas bijih nikel yang masuk ke Indonesia mengalir ke kawasan industri nikel di Weda, Morowali, Samarinda, Kolonodale, dan Kendari. Kawasan tersebut menjadi pusat pengolahan yang menyerap bahan baku dalam jumlah besar.

Filipina sendiri merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Namun, pengembangan industri hilir di negara itu masih tertinggal akibat tingginya kebutuhan modal untuk membangun fasilitas smelter.

Hal ini membuat Filipina lebih banyak berperan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara lain, termasuk Indonesia. Upaya pemerintah Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah sebenarnya pernah diusulkan.

Namun, kebijakan itu gagal terwujud setelah ditolak parlemen dan ditentang oleh para pelaku industri. Meski demikian, sejumlah perusahaan di Filipina tetap mempertimbangkan investasi smelter.

Prospek Industri Nikel dan Smelter ke Depan

Meski menghadapi tantangan ketersediaan pasokan, pertumbuhan industri smelter di Indonesia menunjukkan potensi besar bagi penguatan hilirisasi nikel. APNI menilai bahwa peningkatan impor sementara masih diperlukan agar roda produksi smelter tetap berjalan optimal.

Kebutuhan bijih nikel akan terus naik seiring peningkatan permintaan global terhadap produk turunan nikel, terutama baterai kendaraan listrik dan energi terbarukan.

Sejumlah perusahaan besar di Filipina, seperti DMCI dan Nickel Asia Corp., tengah mengkaji kelayakan pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi HPAL. Proyek senilai sekitar US$1,5 miliar itu bahkan telah didiskusikan bersama mitra asing terkait dukungan teknis dan potensi investasi.

Bagi Indonesia, keberadaan smelter yang semakin banyak memberikan keuntungan strategis karena mampu memperkuat nilai tambah industri domestik. Namun, ketersediaan cadangan bijih nikel harus terus dipastikan agar tidak terjadi ketidakseimbangan.

Pemerintah dan pelaku industri perlu menyusun strategi jangka panjang yang tidak hanya mengandalkan impor, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan cadangan dalam negeri.

Dengan demikian, lonjakan impor nikel tahun ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari fase transisi industri. Pertumbuhan smelter yang melesat dapat menjadi modal kuat untuk menjadikan Indonesia pusat hilirisasi nikel dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index