Proyek Hilirisasi

Proyek Hilirisasi Batu Bara DME Terkendala Faktor Ekonomi

Proyek Hilirisasi Batu Bara DME Terkendala Faktor Ekonomi
Proyek Hilirisasi Batu Bara DME Terkendala Faktor Ekonomi

JAKARTA - Upaya pemerintah mendorong hilirisasi batu bara melalui proyek gasifikasi dimethyl ether (DME) untuk menggantikan LPG impor ternyata belum sepenuhnya menarik minat swasta. Meski secara teknologi dan pendanaan dinilai tersedia, persoalan utama yang masih membayangi adalah faktor keekonomian dan kepastian pasar. 

Hal inilah yang diungkapkan langsung oleh Direktur PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) Alexander Ery Wibowo dalam forum CT Asia 2025 di Jimbaran, Bali.

Tantangan Utama: Kepastian Pasar

Alexander menjelaskan bahwa masalah terbesar proyek DME bukan terletak pada ketersediaan teknologi ataupun pembiayaan. Ia menilai keduanya relatif sudah siap jika proyek benar-benar berjalan. Namun, tanpa jaminan adanya pembeli atau offtaker jangka panjang, investasi di sektor ini belum memberikan kepastian yang menarik.

“Problemnya adalah keekonomian ya. Keekonomian itu bukan investasi besar, tapi maksudnya market-nya. Kepastian siapa buyernya,” jelas Alexander, Senin (22 September 2025).

Menurutnya, harga DME saat ini masih lebih tinggi dibandingkan LPG. Kondisi tersebut membuat produk DME kurang kompetitif sehingga sulit menemukan pihak yang siap menandatangani kontrak pembelian jangka panjang. Padahal, kontrak tersebut sangat penting bagi kelangsungan proyek besar seperti gasifikasi batu bara.

Hilirisasi Batu Bara Belum Jadi Prioritas BYAN

Lebih lanjut, Alexander menegaskan bahwa hingga kini pihaknya belum menyiapkan rencana investasi matang untuk masuk ke sektor hilirisasi batu bara, termasuk proyek DME. Ia menyebutkan, dalam kurun lima tahun ke depan, Bayan Resources masih belum melihat arah yang jelas untuk menggarap proyek tersebut.

“Hilirisasi itu saya pikir dalam lima tahun belum ada pandangan ke situ ya,” ujarnya.

Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa strategi perusahaan masih lebih berhati-hati dalam menentukan arah bisnis, terutama terkait proyek jangka panjang yang membutuhkan kepastian keekonomian.

Pemerintah Tetap Dorong Proyek DME

Di sisi lain, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM tetap berupaya mempercepat realisasi proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Dirjen Minerba Tri Winarno menuturkan bahwa proyek ini terbuka bagi perusahaan swasta maupun BUMN, termasuk yang berada di bawah BPI Danantara.

“Kami terus mengkaji. Ada beberapa proposal yang menunjukkan keekonomian positif sehingga DME bisa kita kembangkan,” jelas Tri.

Menurutnya, sejumlah perusahaan swasta sudah mengajukan proposal dengan proyeksi keekonomian yang lebih baik. Hal ini diharapkan dapat membuka jalan bagi masuknya investor baru yang serius mengeksekusi proyek DME.

Potensi Investasi Asing

Tri menambahkan, salah satu calon investor swasta bahkan berencana bekerja sama dengan perusahaan asal China. Nilai investasi yang digelontorkan diperkirakan mencapai US$1,3 miliar hingga US$1,4 miliar, atau sekitar Rp23,23 triliun dengan asumsi kurs Rp16.595 per dolar AS.

Selain itu, proyek DME juga berpotensi digarap oleh BUMN di bawah naungan BPI Danantara. Saat ini, proyek tersebut termasuk dalam daftar 18 proyek hilirisasi dan ketahanan energi yang sedang dikaji oleh pemerintah.

“Kan mulai juga mesti ada FS. FS detailnya belum. Tapi pra-FS-nya sudah positif,” tambah Tri.

Jejak Panjang Proyek DME

Sebagai informasi, rencana hilirisasi batu bara menjadi DME bukanlah hal baru. Program ini sudah dicanangkan sejak era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Tujuan utamanya adalah mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor LPG, yang setiap tahun membebani anggaran negara cukup besar.

Namun, perjalanan proyek ini tidak mulus. Salah satu hambatan terbesar muncul setelah Air Products, investor utama asal Amerika Serikat, memutuskan mundur dari kerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) pada tahun 2023. Keputusan tersebut membuat proyek DME kembali harus mencari mitra baru agar dapat dilanjutkan.

Dilema Ekonomi dan Ketahanan Energi

Meski memiliki potensi strategis bagi ketahanan energi nasional, proyek DME menghadapi dilema klasik. Di satu sisi, pemerintah mendorong hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah dari batu bara sekaligus mengurangi impor LPG. Di sisi lain, harga DME yang masih lebih mahal dibanding LPG membuat pelaku industri ragu untuk masuk tanpa jaminan kepastian pasar.

Keekonomian menjadi kata kunci yang terus diulang oleh Alexander. Ia menegaskan, tanpa adanya skema harga dan kontrak yang jelas, perusahaan akan memilih menunda keterlibatan. “Kalau teknologi sudah ada lah saya pikir. Pinjaman bank juga sudah ada,” tegasnya.

Situasi ini menggambarkan bahwa realisasi hilirisasi batu bara menjadi DME bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga bisnis. Sementara pemerintah optimistis dengan masuknya proposal baru dari investor swasta dan BUMN, perusahaan seperti Bayan Resources masih menunggu kepastian ekonomi sebelum benar-benar terjun.

Ke depan, keberhasilan proyek ini akan sangat ditentukan oleh adanya formula keekonomian yang kompetitif serta kepastian pasar. Tanpa itu, DME berisiko menjadi proyek ambisius yang sulit diwujudkan, meski potensinya bagi ketahanan energi nasional sangat besar.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index