JAKARTA - Kebijakan pemerintah pusat memangkas alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) pada tahun 2026 memantik diskusi luas di kalangan ekonom. Bagi sebagian daerah yang masih bergantung pada dana pusat, keputusan ini tentu menantang.
Namun, bagi Pakar Ekonomi Universitas Mataram, Iwan Darsono, langkah tersebut bukan semata ancaman, melainkan ujian sekaligus momentum refleksi menuju kemandirian fiskal daerah.
“Keberhasilan adaptasi fiskal sangat bergantung pada kepemimpinan kolektif antara gubernur, bupati, dan wali kota, serta kemampuan mereka dalam mengelola sumber daya terbatas secara efisien dan transparan,” ujar Iwan.
Menurutnya, pemotongan TKDD oleh pemerintah pusat memiliki implikasi yang cukup serius terhadap stabilitas fiskal daerah, terutama bagi daerah dengan struktur anggaran yang masih sangat bergantung pada dana transfer.
Langkah ini juga tidak terlepas dari kebutuhan nasional untuk menyesuaikan kebijakan fiskal akibat tekanan defisit dan perlambatan penerimaan negara.
Ketergantungan Daerah dan Risiko Fiskal
Iwan mencontohkan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak karena sekitar 70 persen struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.
Dengan adanya pemangkasan TKDD, NTB diperkirakan akan menghadapi tekanan fiskal yang cukup berat, terutama dalam mempertahankan layanan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
“Pemangkasan TKDD merupakan ujian bagi kemandirian fiskal daerah. Bagi NTB, hal ini menjadi momentum refleksi dan reformasi, bukan sekadar alasan untuk menyalahkan kebijakan pusat,” tegasnya.
Ia menilai, kebijakan ini seharusnya dipandang sebagai dorongan bagi daerah untuk bertransformasi, memperkuat basis pendapatan asli daerah (PAD), serta meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran yang ada.
Dengan begitu, pemangkasan dana pusat tidak menjadi penghambat, melainkan pemicu untuk menciptakan tata kelola fiskal yang lebih sehat dan mandiri.
Daerah Kuat Bukan yang Paling Banyak Dana, Tapi Paling Efisien
Lebih lanjut, Iwan menjelaskan bahwa dalam prinsip ekonomi publik, daerah yang kuat bukanlah yang menerima dana terbesar, melainkan yang paling efisien dan adil dalam mengelola anggaran.
“Efisiensi dan keadilan dalam alokasi belanja publik menjadi indikator penting kemandirian fiskal. Tantangan ini akan menguji bagaimana para kepala daerah mampu mengarahkan belanja agar benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat,” jelasnya.
Ia menekankan, saat dana pusat dikurangi, inisiatif dan inovasi daerah menjadi kunci utama. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan strategi kreatif dalam menggali potensi ekonomi lokal—baik dari sektor pariwisata, pertanian, industri kecil, maupun digitalisasi ekonomi daerah.
Langkah-langkah efisiensi, reformasi birokrasi, hingga transparansi dalam penggunaan anggaran juga harus menjadi prioritas agar daerah tidak terjebak dalam siklus ketergantungan fiskal.
Alasan Pemerintah Pusat Pangkas TKDD
Kebijakan pemangkasan TKDD tahun 2026 tidak muncul tanpa alasan. Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, pemerintah pusat melakukan penyesuaian fiskal nasional karena adanya peningkatan tekanan defisit anggaran serta perlambatan penerimaan negara.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa pemangkasan transfer dilakukan untuk memperbaiki ketidaksesuaian anggaran di daerah.
Pemerintah menilai banyak daerah yang belum optimal dalam memanfaatkan dana transfer, sehingga realisasi belanja daerah sering kali tidak sejalan dengan prioritas nasional.
Purbaya menegaskan, tujuan kebijakan ini adalah mendorong efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran, bukan semata-mata pemotongan tanpa arah. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan mampu menghasilkan output pembangunan yang nyata dan terukur.
Rincian Alokasi TKDD dalam APBN 2026
Dalam Undang-Undang APBN 2026 yang telah disahkan DPR pada 23 September 2025, alokasi Transfer ke Daerah hanya sekitar Rp693 triliun atau 18,03 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.842,7 triliun.
Angka tersebut berkurang sebesar Rp267 triliun atau sekitar 29,34 persen dibandingkan dengan alokasi pada APBN 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun.
Kebijakan ini menandai salah satu penyesuaian fiskal terbesar dalam satu dekade terakhir, yang dipandang sebagai langkah penting untuk menekan defisit anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas belanja daerah.
Namun, pengurangan ini otomatis menjadi tantangan bagi banyak daerah yang masih lemah dalam hal pendapatan asli daerah. Kondisi tersebut memaksa pemerintah daerah untuk meninjau ulang struktur belanja dan mengurangi program-program yang kurang produktif.
Momentum Reformasi dan Adaptasi Daerah
Iwan Darsono menilai, walaupun kebijakan ini menimbulkan tekanan jangka pendek, dampak jangka panjangnya bisa positif jika daerah mampu beradaptasi.
Pemangkasan TKDD dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih serius menggali potensi ekonomi lokal dan membangun kolaborasi dengan sektor swasta.
Ia mencontohkan bahwa daerah seperti NTB memiliki peluang besar di sektor pariwisata, energi terbarukan, serta pertanian organik yang dapat dikembangkan sebagai sumber PAD baru.
Namun, untuk mencapai itu dibutuhkan kepemimpinan daerah yang kuat dan visi pembangunan yang berkelanjutan.
“Transformasi fiskal tidak bisa hanya bergantung pada pusat. Daerah harus mulai membangun kemandirian melalui inovasi kebijakan dan penguatan ekonomi lokal,” katanya.
Ujian Kemandirian Fiskal dan Kepemimpinan Daerah
Pada akhirnya, Iwan menilai bahwa pemangkasan TKDD 2026 akan menjadi ujian nyata bagi kepemimpinan daerah. Daerah yang mampu beradaptasi dan berinovasi akan keluar lebih kuat dan mandiri, sementara yang tetap bergantung pada transfer pusat akan tertinggal.
“Ini adalah saatnya kepala daerah menunjukkan kualitas kepemimpinan kolektifnya. Mereka harus mampu memastikan bahwa setiap rupiah anggaran yang dikelola memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat,” ujarnya menegaskan.
Kebijakan ini, lanjutnya, juga sejalan dengan semangat reformasi fiskal nasional, di mana efisiensi dan transparansi menjadi fondasi utama untuk menciptakan sistem keuangan daerah yang lebih berdaya tahan terhadap krisis.
Kesimpulan
Kebijakan pemangkasan TKDD oleh pemerintah pusat pada tahun 2026 memang menjadi tantangan besar bagi daerah, namun juga membuka peluang untuk memperkuat otonomi fiskal dan kemandirian daerah.
Dengan kepemimpinan yang visioner, efisiensi penggunaan anggaran, dan inovasi dalam menggali potensi ekonomi lokal, daerah tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga tumbuh lebih mandiri dan berdaya saing di tengah keterbatasan fiskal nasional.