JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menegaskan pentingnya kewaspadaan masyarakat dalam mengenali uang asli agar tidak terjebak dengan peredaran uang palsu.
Edukasi ini dinilai krusial, mengingat masih adanya kasus pemalsuan uang yang dapat merugikan banyak pihak. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Kediri, Yayat Cadarajat, menjelaskan bahwa metode paling sederhana untuk membedakan uang asli dan palsu dapat dilakukan dengan prinsip 3D, yaitu dilihat, diraba, dan diterawang.
“Dengan metode 3D sudah bisa membedakan uang asli dan palsu. Uang palsu ketika dilihat, warnanya tidak cerah, sementara uang asli memiliki teknologi colour shifting,” ujar Yayar saat memberikan penjelasan.
Metode 3D dinilai sangat mudah diterapkan oleh masyarakat luas, bahkan bagi mereka yang belum terbiasa sekalipun. Sosialisasi ini diharapkan mampu mendorong lebih banyak orang berhati-hati dalam bertransaksi menggunakan uang tunai.
Teknologi Colour Shifting sebagai Pengaman
Dalam penjelasannya, Yayar menekankan peran teknologi colour shifting pada uang asli. Teknologi ini memungkinkan warna pada angka nominal atau bagian tertentu uang berubah jika dilihat dari sudut tertentu.
Hal ini menjadi salah satu ciri yang sulit dipalsukan karena memerlukan bahan khusus dan proses cetak dengan standar tinggi. Teknologi tersebut memang dirancang untuk memberikan perlindungan ganda.
Uang asli akan terlihat berbeda dan memiliki daya tahan lebih lama, sehingga lebih sulit bagi pelaku pemalsuan untuk menirunya.“Colour shifting merupakan teknologi pengaman terbaru pada uang asli yang membuat warna berubah jika dilihat dari sudut pandang tertentu,” jelas Yayar.
Masyarakat pun diimbau untuk lebih sering memperhatikan bagian uang yang memiliki teknologi ini. Dengan demikian, tingkat kewaspadaan akan semakin meningkat.
Sentuhan Kasar Jadi Tanda Khas
Selain mengandalkan pandangan mata, ciri lain uang asli bisa dikenali melalui sentuhan tangan. Saat diraba, uang asli memiliki tekstur kasar yang dihasilkan dari teknik cetak khusus. Sentuhan ini bukan hanya pengaman tambahan, tetapi juga berfungsi sebagai tanda yang dapat dirasakan secara langsung.
“Kalau diraba, uang yang asli itu terasa kasar. Ini memang teknik cetak khusus yang menjadi pengaman dari uang palsu sekaligus membantu penyandang disabilitas netra dalam mengenali pecahan uang,” kata Yayar.
Hal ini menunjukkan bahwa desain uang Indonesia tidak hanya mengutamakan faktor keamanan, tetapi juga sisi inklusivitas. Dengan adanya tekstur kasar, penyandang disabilitas netra dapat mengenali pecahan uang tanpa bergantung pada orang lain.
Dengan metode sederhana ini, masyarakat dapat semakin yakin ketika bertransaksi. Rasa aman akan meningkat dan ruang gerak peredaran uang palsu dapat dipersempit.
Pentingnya Tahap Diterawang
Tahap terakhir dalam metode 3D adalah diterawang. Pada uang asli, tanda air atau watermark berupa gambar pahlawan nasional akan terlihat jelas sesuai pecahan masing-masing.
Selain itu, terdapat pula teknik rectoverso, yakni gambar yang saling mengisi dari sisi depan dan belakang, sehingga ketika diterawang akan tampak menyatu dengan sempurna.
Ciri ini menjadi pembeda penting yang tidak bisa dilewatkan. Uang palsu umumnya tidak memiliki watermark yang jelas atau rectoverso yang sempurna. Sehingga, dengan cara sederhana ini, masyarakat bisa memastikan keaslian uang hanya dengan sedikit perhatian.
Tahapan diterawang juga memperkuat keyakinan bahwa uang yang beredar telah dilengkapi pengaman berlapis. Semakin sering masyarakat mempraktikkan langkah ini, semakin kecil peluang uang palsu bisa beredar luas di tengah masyarakat.
Bank Indonesia berharap agar semakin banyak masyarakat yang memahami ciri-ciri uang asli melalui metode 3D. Dengan begitu, kerugian akibat peredaran uang palsu bisa ditekan seminimal mungkin. “Semakin banyak masyarakat yang paham, semakin kecil peluang uang palsu beredar,” pungkas Yayar.